HEALING

“Plis…aku butuh healing sejenak nih.” atau “Ke pantai yuk gaes, healing gitu.” Sering banget kata healing disebutkan orang yang dimana arti sebenarnya adalah penyembuhan. Penyembuhan dari apa? Banyak. Bisa dari kelelahan, rutinitas kegiatan yang menyita waktu ataupun dari sakit yang membuat perasaan kita down alias jatuh sampai ke titik terbawah muka bumi. Halah…agak lebay.

Covid, salah satu penyumbang rasa down paling dalam bagi penderitanya. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi penerimaan orang lain yang terkadang membuat rasa rendah diri, tidak berarti, takut dikucilkan. Padahal namanya juga sakit, nggak ada seorangpun yang pengen merasa sakit atau berkehendak virus itu mampir di tubuh. Tapi bagi sebagian orang yang merasa covid itu kutukan, kehadiran penderitanya di sekitarnya pun di generalisasi sebagai kutukan. Tidak perduli itu saudara ataupun tetangga dekat samping rumah.

Seorang teman kantor ku yang terkonfirmasi positif covid-19, sudah isoman 14 hari kemudian melakukan swab PCR lalu hasilnya masih positif dengan tingkat CT yang sangat rendah. Nilai CT nya menurun jauh dari hasil PCR konfirmasi positif pertamanya. Melihat hasil yang tidak sesuai ekspektasinya tentu membuat semangatnya buyar. Sebuyar kue nastar lembut yang dimasukkan ke dalam mulut. Hancur berkeping tanpa bentuk lagi. Halah.. Sungguh, saat itu aku hanya bisa mendengarkan keluh kesahnya.

Januari 2021, aku mengalami hal yang sama. Terlebih saat itu kebijakan tempat bekerja adalah dengan PCR 2x negatif dimana sebelumnya hasil PCR ku sebelumnya sempat negatif. Dengan bekal PCR negatif setelah sebelumnya 3x positif terus, bersemangat aku beli tiket pulang ke Medan. Tapi rencanaku hanya tinggal angan karena akhirnya harus buyar dengan hasil tes PCR berikutnya kembali positif, CT yang sebenarnya sudah tinggi tapi belum masuk kriteria negatif di rumah sakit tempat aku tes. Berhubung saat itu hasil pemeriksaan di pantau kantor, jadi nggak bisa berkelit atau coba-coba antigen yang sudah sangat jelas dan pasti hasilnya negatif. Perasaanku waktu itu pengen nabok, tapi nggak tau mau nabok siapa. Pengen maki-maki orang, tapi nggak tau mau maki siapa. Sudahlah hilang harapan, hilang tiket juga. So, waktu itu aku hanya bisa nangis. Menyesali diri. Tapi, apa juga yang perlu disesali. Bingung kan. Nangis ke suami yang sudah negatif duluan dan nangis ke salah satu temen. Kalau diingat-ingat, yah sudahlah ya. Mungkin memang salahku setelah hasil negatif pertama sedikit lengah nggak jaga kesehatan lagi. Kelengahan itu mulai dari tidak rutin minum vitamin, berasa paling jago ngerjain ini itu dan tidak banyak istirahat. Memang terasa sih efeknya, mulai batuk lagi dan dada sesak lagi. Yah, tapi waktu itu aku gak menganggap reaksi badan itu penting, sampai akhirnya hasilnya positif lagi. Waktu itu dari pihak kantor juga menyarankan untuk screening keseluruhan, kenapa bisa positif lagi. Dan, hasilnya memang reinfeksi. Ternyata ada flek di paru-paru yang mana seminggu sebelumnya ketika hasil ku negatif dengan inisiatif berkobar-kobar aku ronsen paru dan hasilnya buwersih pollll. Jadi, gimana? Siapa yang harus kusalahkan? Nangis maneh ges. Minum obat lagi dan kali ini harus patuh.

Kembali ke teman ku tadi, akhirnya saran yang bisa aku berikan hanya bersabar. Karena itu semua cobaan. Ealah… gitu amat template kalimatnya. Jadi, aku tambahin sedikit. Kalau memang pengen nangis, yah gapapa nangis. Mungkin setelah nangis beban nya jadi lebih ringan. Karena tau kan, ketika kita terkonfirmasi positif covid itu tentunya segala cara diupayakan supaya bisa segera sembuh. Makan ini itu, vitamin ini itu, dll dll, tapi tentunya kondisi setiap orang berbeda. Ada yang fokus dengan kesembuhannya, ada yang sadar tidak sadar tetap stres atau nyambi ngurusin anggota rumah yang juga terpapar virus sampai tidak bisa ngurusin diri sendiri. Dengan segala upaya untuk sembuh itu ketika mendapatkan hasil di luar ekspektasi pastinya kepikiran, sedih, dsb. Jadi, nangis menurut aku wajar sih. Nangis bisa jadi salah satu penyembuh emosi. Ngrasa capek hati dan pikiran, lelah sama rutinitas, perasaan terpendam, gapapa sih dikeluarkan. Masuk kamar, nangis sepuasnya sampai capek terus tidur. Biasanya setelah bangun sudah lebih baikan. Itu healing pertama menurutku.

Selanjutnya, aku sarankan dia untuk lakukan semua kegiatan yang dia pengen. Apa aja. Pengen main hape seharian, nonton drakor, makan atau jalan-jalan tanpa tujuan juga gapapa. Kenapa? Yah karena rutinitas kita yang tanpa disadari hanya ngurusin pekerjaan, orang lain dan lupa sama diri sendiri. Jadi, kita juga butuh kan ya yang namanya menghirup udara segar, memikirkan aku siapa, lagi dimana, mau ngapain. heheeh… Atau, nglihat pohon-pohon dengan daun-daun hijaunya sambil disinari matahari pagi atau sore. Itu nikmat banget. Sendirian aja gapapa, nggak harus ada teman, ditemani hape lah boleh. Sambil dengerin lagu-lagu mellow untuk persiapan menyambut hari besok yang lebih ceria. hehehe.. Itu tips healing kedua menurut aku.

Oh iya, tips healing lainnya bisa dengan komunikasi sama circle teman-teman yang sefrekwensi dengan kita. Bercerita seru, tertawa lepas bersama sangat manjur mengembalikan mood. Eh, dalam kasus ini disarankan via chat saja. Karena kan kasusnya itu sedang dalam proses pemulihan pasca sakit. Via kopdar nya nanti aja tunggu udah sehat beneran

Akhirnya, setelah isoman 10 hari lagi, temanku itu berhasil dapat hasil tes PCR negatif dan boleh masuk kantor. Dengan malu dia cerita kalau dia akhirnya nangis setelah menerima saranku. Duh…piye iki kok jadi buat anak orang nangis yak. Tapi, pengakuan setelahnya dia merasa lebih baik. Lalu, bercerita selama masa isomannya itu dia pergi jalan-jalan ke dekat sawah yang ada dangau nya. Ada sekitar 3 jam dia hanya duduk saja sambil main hape. Melihat hamparan sawah tanpa melakukan apa-apa. Yah, itu healing versi dia dan berhasil membuatnya lebih baik.

Ohya, sebenarnya tingkat kesembuhan yang disarankan pemerintah hanyalah isoman 14 hari tanpa harus tes lagi. Tapi, berhubung kita bekerja di perusahaan yang tentunya punya aturan sendiri jadi harap maklum ya kakak kalau agak ribet dengan PCR. Hehehe..

Apa saja bisa kita lakukan untuk healing. Asal jangan melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri dan orang lain sih. Banyak macamnya, tergantung kesukaanmu apa. Belanja, masak, main game, apapun. Pokoknya kesehatan fisik dan mental itu penting untuk menatap masa depan penuh ceria. Eeea..

Leave a comment